Berkah, atau dalam ungkapan yang lebih lugas diartikan dengan kebaikan yang melimpah dan menetap. Berkah adalah milik Allah, yang ditetapkan ada pada sebagian individu, benda, tempat maupun waktu. Individu, misalnya jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Benda, misalnya air zamzam. Tempa,t misalnya di Masjidil Haram. Waktu, misalnya tanggal 9 Dzulhijjah di padang Arafah, Lailatul Qadar, dan sebagainya. Tidak boleh memastikan berkah ada pada sesuatu kecuali berdasarkan dalil. Sebab berkah adalah milik Allah, bukan hak milik kita.
Apabila dikatakan bahwa bencana Merapi ini membawa berkah, benarkah demikian? Sebagian orang menerjemahkan berkah itu dalam bentuk pasir yang melimpah. Sebagian lagi menafsirkannya dengan pemasukan retribusi kawasan wisata ‘bencana’ dan uang parkir yang terkumpul begitu banyak. Namun, terkadang orang lupa bahwa ternyata ada perkara lain yang lebih berarti bagi kehidupan mereka; yaitu kesadaran untuk kembali kepada Allah dan ajaran-Nya, bertaubat dan kembali taat kepada-Nya. Walau sayangnya hal ini tidak diperoleh semua orang. Hanya orang-orang yang dikehendaki Allah saja yang bisa menikmatinya.
Buktinya, ada juga dai/penceramah di antara mereka yang menolak anggapan bahwa musibah datang karena kemaksiatan manusia. Musibah ini sekadar peristiwa alam yang telah ditakdirkan Allah. Jadi tidak ada sangkut-pautnya dengan dosa…, demikian dalam pandangannya. Hal itu jelas bertentangan dengan dalil-dalil yang ada dan fakta yang terbaca. Memang, tidak ada orang yang senang jika dirinya disalahkan. Namun, kesadaran terhadap kekurangan dan kesalahan diri adalah pintu kebaikan yang harus dibuka lebar dan bukannya dikunci rapat-rapat.
Lebih dari sekali, kami melihat di antara pengungsi korban Merapi ini orang-orang yang baru mengenal shalat setelah musibah ini. Sebelumnya mereka tidak mengenal apa itu shalat, bagaimana caranya, apa bacaannya, padahal mereka mengaku muslim sebagaimana kita. Maka, wajar sekali jika banyak anak yang terlantar pendidikan agamanya, lha wong orang tuanya saja tidak pernah shalat. Allahul musta’an.
Masjid di pengungsian pun diisi oleh para jamaah yang haus akan bimbingan dan motivasi. Mengapa mereka demikian? Banyak hal yang telah hilang dari mereka, tempat tinggal, fasilitas hidup, pekerjaan, dan yang paling mengenaskan apabila yang hilang adalah harapan dan cita-cita. Itulah yang mendorong alam bawah sadar mereka untuk kembali mendekat kepada Allah, memulangkan segala permasalahan kepada-Nya dan berharap kemurahan serta ampunan dari-Nya atas keteledoran di masa sebelumnya.
Bencana ini, seberat dan sepilu apapun, kami tak sanggup untuk menggambarkannya. Cukuplah kiranya anda renungkan bagaimana perasaan dan beban yang dialami oleh sebuah keluarga -bapak, ibu beserta anak-anaknya yang masih harus mengenyam pendidikan di sekolah- tatkala mereka kehilangan rumah yang selama ini mereka tinggali, tempat menjalin kasih sayang dan merenda masa depan… kini itu semua telah lenyap dari kehidupan mereka tanpa sebongkah batu-bata pun yang tersisa, tanpa atap yang menaungi mereka dari teriknya panas matahari dan guyuran hujan lebat… Hidup di pengungsian…, menanti berkah dan karunia dari Allah…, mengetuk pintu taubat dan berusaha untuk kembali kepada-Nya.
Adakah yang peduli dan masih bersemangat untuk membantu mereka? Ataukah berita duka ini telah hilang dan dihanyutkan oleh berita ‘kekalahan’ Tim Nasional kita? Apakah kekalahan sebuah tim sepak bola yang hanya berjumlah 11 orang bisa melupakan bangsa ini dari bencana yang menimpa ribuan warga lereng Merapi yang telah kehilangan 2000 rumah mereka? Masih adakah orang-orang berakal yang mau membantu saudaranya..? Sesungguhnya hanya kepada Allah kami berharap, dan hanya kepada-Nya kami memohon pertolongan. Wallahu waliyyut taufiq.
Penulis: Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi, S.Si
Artikel www.PengusahaMuslim.com